Sabtu, 26 Desember 2009

Kenapa Tidak PLTN

Banyak negara-negara maju tidak bermasalah dengan penyediaan pasokan listrik, seperti yang terjadi dengan Perancis ketika pasokan gas bumi yang berasal dari pipa gas siberia mengalami gangguan, negara tersebut tidak mengalami gangguan pasokan listrik. Karena pasokan listrik negara tersebut sebagian besar di bangkitkan oleh reaktor-reaktor nukli.
Memang di negeri kita Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) masih menjadi dilematik, disatu sisi kita belum dianggap mampu mengelola PLTN dan disisi lain krisis energi masih merupakan mimpi buruk bagi negara.
Sebetulnya secara keilmuan Indonesia sudah melakukan beberapa penelitian tentang reaktor nuklir seperti BATAN Kartini di Yogya dan BATAN Serpong, semenjak tahun 1987. Tetapi memang lebih banyak efek psikologis dan traumatik setelah kejadian Chernobil, yang menyebabkan Indonesia urung mengimplementasikan PLTN. Sewaktu era Presiden BJ Habibi pernah dicoba di sosialisasikan untuk kemungkinan di dirikan PLTN. Tetapi hal itu masih menjadi perdebatan yang sangat kental baik politik, teknis, lingkungan dan demografi.
Rasanya perlu menjadi pertimbangan kita bersama mau kemana kebijakan energi nasional kita, apakah berbasis energi yang tidak dapat diperbaharui atau apakah tidak kita pikirkan kemungkinan beralih ke pembangkit berbasis PLTN. Paling tidak dapat dimulai dari sekarang kita memulainya dengan tahapan awal sosialisasi kepada masyarakat.

Tahun 2012 Pemerintah Mengembangkan PLTN

Bandung, (PR). 26 Desember 2009.

Untuk mengatasi krisis listrik tanah air, pada tahun 2012 Indonesia berencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Proyek ini dijadwalkan rampung pada 2018, tetapi kemungkinan besar sudah bisa beroperasi secara komersial pada 2015. Demikian dikatakan Kepala Pusat Diseminasi Iptek Nuklir Batan Dr. Taswanda Taryo, MSc., Eng. Di Bandung baru-baru ini. Menurut dia, semakin menipisnya cadangan Minyak dan gas bumi, nuklir menjadi solusi terbaik.


“Dengan menggunakan nuklir, selain lebih ekonomis karena harga yang lebih murah, dijamin tidak akan ada byar-pet. Penggantian bahan bakarnya juga relatif lama, dua tahun sekali dan relatif ramah energi,” ujarnya. Menurut Taswando, harga listrik PLTN 3,3-4,2 sen dolar AS atau sekitar Rp. 313,00- sampai Rp. 399,00-. Sementara listrik dari panas bumi mencapai 9,7 sen AS (Rp. 921,00-), atau tiga kali lipat harga listrik PLTN.

Indonesia diprediksi memiliki cadangan uranium, bahan bakar PLTN, untuk menghasilkan hingga tiga puluh giga watt (GW) listrik. Namun untuk menghemat sumber daya uranium, Taswando menilai lebih baik Indonesia mengimpor bahan baku tersebut. Indonesia harus pintar. Buat apa menghabiskan kekayaan alam sendiri, kalau membeli dari luar saja bisa lebih murah. Indonesia harus bisa belajar dari kasus minyak dan gas bumi. Ketika harga murah, jor-joran mengimpor. Waktu cadangan mulai langka harga naik, kita terpaksa mengekspor dengan harga tinggi, sangat merugikan” katanya.

Ditanya tentang kesiapan sumber daya manusia Taswandi menilai, sebenarnya rakyat ini sudah cukup siap. Berbagai penelitian sudah dilakukan jauh-jauh hari, seperti reaktor nuklir Serpong yang telah beroperasi sejak 1987, Indonesia sendiri sudah memiliki resktor untuk riset semenjak 1965. “Indonesia jelas mampu, yang jadi masalah kemungkinan besar lebih ke faktor psikologis masa. Inilah yang masih menjadi kendala, pro kontra di masyarakat. Padahal sudah banyak negara yang sudah berbasis PLTN dan menunjukkan keandalan pasokan listriknya” kata Taswandi.